“Faktor” Andi Lau dan Jackie Chan, menjadi pertimbangan saya untuk menonton film kolosal Shaolin yang konon sangat dipengaruhi dari film klasik The Shaolin Temple (1982) arahan sutradara Chang-Hsin Yen dan berhasil mengangkat nama Jet Li sebagai Bintang spesialis beladiri kungfu ini. Kedua bintang besar sekelas Andi Lau dan Jackie Chan, bagi saya senantiasa menjadi tolok ukur subyektifitas saya dalam menakar kualitas sebuah film laga Mandarin. Dibawah arahan sutradara Benny Chan (City Under Siege,2010) dan didukung oleh penulis naskah Alan Yuen, film ini menyajikan sebuah tontonan yang apik dengan re-interpretasi serta re-improvisasi baru film Shaolin Temple dalam format masa kini yang lebih renyah dan spektakuler.
Film ini mengisahkan perjalanan Jenderal Hou Jie (Andi Lau) yang menjadi panglima angkatan perang yang angkuh dan kejam serta baru saja menaklukkan wilayah Deng Feng bersama sang asisten, Cao Man (Nicholas Tse). Dalam sebuah pertarungan, Hou Jie berhasil mengalahkan salah satu pendekar di Biara Shaolin, sebuah tempat yang dianggap menyembunyikan penduduk daerah taklukan yang membutuhkan perlindungan. Kejadian ini membuat sang Jenderal semakin congkak dan terus menebar teror dimana-mana.
Sebuah antiklimaks terjadi ketika sang tangan kanan yang sangat dipercayai itu berkhianat. Cao Ma merebut kekuasaan Hou Jie secara tragis. Dengan dibantu oleh seorang tukang masak Wu Dao (Jackie Chan) sang Jenderal kembali ke biara Shaolin, selain untuk berlindung juga untuk belajar ilmu beladiri dan memperdalam prinsip-prinsip kebijaksanaan Buddha. Di biara itu, sang jenderal kejam mengalami pencerahan luar biasa. Sosoknya berubah drastis dan bertekad untuk tidak akan mengulangi jalan kelamnya dulu dengan membuka lembaran baru kehidupan yang lebih bermakna. Sayangnya, impian untuk hidup tenang tak sepenuhnya ia peroleh karena Cao Ma beserta anak buahnya masih terus mengejarnya.
Terus terang, saya sangat terpesona oleh sajian sinematografi yang begitu dashyat dari film ini. Benny Chan dengan cermat menggarap setiap detail film ini mulai dari momen peperangan yang menampilkan pengaruh dan kekuatan besar sang Jenderal bersama pasukannya hingga akhir dramatis yang menyentuh ketika tragedy menimpa Jenderal Hou Jie dan keluarganya. Film yang menghabiskan biaya US$ 29 Juta ini juga sekaligus menjadi semacam “reuni” Andy Lau dan Benny Chan setelah sebelumnya pada 21 tahun silam bekerjasama dalam film A Moment of Romance (1990).
Akting Andy Lau juga begitu memukau. Sebagai aktor senior, ia mampu menyajikan kualitas peran yang natural dari karakter seorang Jenderal yang bengis hingga menjadi Rahib Shaolin yang tenang dan santun. Gejolak batin yang dialaminya tersaji demikian menarik dan impresif.
Meski hanya sebagai pemeran pendukung, Jackie Chan cukup memegang peranan penting terutama dalam menampilkan adegan-adegan kocak ala Jackie Chan. Apa yang disajikan aktor berusia 56 tahun dengan aksi laga komedi sungguh memberikan “ruang segar” untuk film laga ini. Perannya sebagai sosok bijak –sama seperti yang dimainkannya dalam film The Karate Kid (2010) sebagai guru Jaden Smith—meski dalam porsi kecil, cukup memberikan makna mengesankan dalam film yang diproduksi oleh Emperor Motion Pictures dan berdurasi 131 menit ini.
Film ini mengisahkan perjalanan Jenderal Hou Jie (Andi Lau) yang menjadi panglima angkatan perang yang angkuh dan kejam serta baru saja menaklukkan wilayah Deng Feng bersama sang asisten, Cao Man (Nicholas Tse). Dalam sebuah pertarungan, Hou Jie berhasil mengalahkan salah satu pendekar di Biara Shaolin, sebuah tempat yang dianggap menyembunyikan penduduk daerah taklukan yang membutuhkan perlindungan. Kejadian ini membuat sang Jenderal semakin congkak dan terus menebar teror dimana-mana.
Sebuah antiklimaks terjadi ketika sang tangan kanan yang sangat dipercayai itu berkhianat. Cao Ma merebut kekuasaan Hou Jie secara tragis. Dengan dibantu oleh seorang tukang masak Wu Dao (Jackie Chan) sang Jenderal kembali ke biara Shaolin, selain untuk berlindung juga untuk belajar ilmu beladiri dan memperdalam prinsip-prinsip kebijaksanaan Buddha. Di biara itu, sang jenderal kejam mengalami pencerahan luar biasa. Sosoknya berubah drastis dan bertekad untuk tidak akan mengulangi jalan kelamnya dulu dengan membuka lembaran baru kehidupan yang lebih bermakna. Sayangnya, impian untuk hidup tenang tak sepenuhnya ia peroleh karena Cao Ma beserta anak buahnya masih terus mengejarnya.
Terus terang, saya sangat terpesona oleh sajian sinematografi yang begitu dashyat dari film ini. Benny Chan dengan cermat menggarap setiap detail film ini mulai dari momen peperangan yang menampilkan pengaruh dan kekuatan besar sang Jenderal bersama pasukannya hingga akhir dramatis yang menyentuh ketika tragedy menimpa Jenderal Hou Jie dan keluarganya. Film yang menghabiskan biaya US$ 29 Juta ini juga sekaligus menjadi semacam “reuni” Andy Lau dan Benny Chan setelah sebelumnya pada 21 tahun silam bekerjasama dalam film A Moment of Romance (1990).
Akting Andy Lau juga begitu memukau. Sebagai aktor senior, ia mampu menyajikan kualitas peran yang natural dari karakter seorang Jenderal yang bengis hingga menjadi Rahib Shaolin yang tenang dan santun. Gejolak batin yang dialaminya tersaji demikian menarik dan impresif.
Meski hanya sebagai pemeran pendukung, Jackie Chan cukup memegang peranan penting terutama dalam menampilkan adegan-adegan kocak ala Jackie Chan. Apa yang disajikan aktor berusia 56 tahun dengan aksi laga komedi sungguh memberikan “ruang segar” untuk film laga ini. Perannya sebagai sosok bijak –sama seperti yang dimainkannya dalam film The Karate Kid (2010) sebagai guru Jaden Smith—meski dalam porsi kecil, cukup memberikan makna mengesankan dalam film yang diproduksi oleh Emperor Motion Pictures dan berdurasi 131 menit ini.
0 komentar:
Posting Komentar
Ayo gan Komentarnya jangan lupa,,,biar tambah semangat yang upload Film dan Game dan berita juga update artikelnya, kalau ada link yang mati laporkan juga disini ya...